Selamat Datang di Blog Tatang Saputra , SMA Negeri 1 Bengkayang , Jalan Sanggau Ledo No. 17 , Bengkayang , Kal-Bar , HP 085822034167

PETA DAKWAH KALIMANTAN BARAT ( H. Moh. Haitami Salim , M. Ag )

A. Pengantar

Dalam Islam, peran dakwah sangat strategis dan tidak bisa dilepaskan dari totalitas maksud pen-risalah-annya. Banyak teks-teks Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang berbicara tentang kewajiban tiap-tiap pribadi muslim untuk melakukan kegiatan dakwah, tanpa pandang jabatan, pangkat dan profesi yang diembannya.
Masing-masing individu muslim diharuskan ber-amar ma’ruf nahi munkar mengingat sejarah panjang kerasulan Muhammad SAW., yang menghabiskan dua periode, yakni Makkah dan Madinah adalah dalam rangka membangun gerakan dakwah yang setiap orang ikut ambil bagian guna menciptakan masyarakat yang berkeadaban. Entah sejak kapan gerakan dakwah yang telah berhasil membangun sebuah imperium Islam terdis torsi menjadi hanya sekedar sebuah ritual formal belaka dan cenderung elitis yang seolah-olah khusus diembankan kepada para agamawan dengan cara-cara yang hampir baku.



Allah berfirman:

و لتكن منكم ا مة يد عو ن الي ا لخير و ياء مر ون با لمعروف وينهو ن عن ا لمنكر و او لئك هم المفلحو ن

Artinya: “Dan hendaklah ada sebagian dari kamu sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan dan menghancurkan kemungkaran dan mereka adalah orang-orang yang menang”. (Al Imran : 104)

Berdasarkan ayat ini, dapat kita simpulkan bahwa essensi gerakan dakwah adalah “ikhtiar kemanusiaan yang bersifat universal”, pelaku dan sasaran dakwah itu dari manusia dan untuk manusia. Universalitas dakwah itu melampaui batas ras, suku, bangsa dan bahkan agama. Namun, Allah membingkai gerakan dakwah itu dengan aturan-aturan main yang sedikit ketat, seperti dalam An Nahl ayat 125:

اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Artinya: “Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijakan), nasihat atau pelajaran yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Dalam ayat tersebut ada dua bingkai normatif bagi gerakan dakwah, yaitu dengan hikmah dan mau’izah al Hasanah. Secara etimologi, hikmah adalah al-‘adl (keadilan), al-Hilm (kesabaran dan ketabahan), an-nubuwah (kenabian) yang mencegah kebodohan dan kemungkaran, serta perkataan yang cocok dengan al-haq (Kebenaran). Kemudian Al-mau’izhah al Hasanah yaitu menasihati seseorang dengan tujuan tercapainya suatu manfaat atau maslahat baginya (Husein Fadhilan:1997).

Tujuan akhir dakwah adalah hadirnya satu tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Illahiah sebagai fondasi moral bagi terciptanya masyarakat yang teratur dan beradab. Tujuan ini tidak akan tercapai dan berhasil diraih manakala umat manusia mengabaikan tugas kekhalifahannya, guna mengajak sesama manusia untuk tunduk pasrah (Islâm) kepada Allah SWT. Adapun cara atau metodenya bersifat kondisional, namun tetap mengedepankan cara-cara atau bingkai normatif yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Salah satu tugas kekhalifahan adalah merumuskan orientasi, tujuan dan strategi dakwah guna membangun gerakan dakwah yang simultan dan berkesinambungan dalam rangka menciptakan masyarakat yang berkeadaban. Tindakan perumusan orientasi, tujuan dan strategi dakwah ini dilakukan setelah upaya pemetaan dakwah. Tulisan ini akan sedikit membahas mengenai peta dakwah Kalimantan Barat.

A. Peta Sebaran Da’i di Kalimantan Barat: Studi Kasus DDII Kalbar

Sebelum penulis menarasikan beberapa hal yang menjadi persoalan dalam Dakwah Islamiyah, sangat penting kita memahami konfigurasi ummat di Kalimantan Barat menurut aspek geografis, demografis (sosio kultural dan komposisi ummat beragama). Dari segi luas wilayah, Kalimantan Barat merupakan propinsi terbesar keempat setelah Irian Jaya, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah dengan luas wilayah 146.807 km2 atau 1,5 kali luas pulau Jawa. Dengan perincian Kabupaten yang memiliki luas wilayah terbesar adalah Kabupaten Ketapang (24,39 %) dan Kabupaten Kapuas Hulu ( 20,33 %). Sedangkan Kabupaten Sanggau, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas (data sebelum pemekaran wilayah) dan Kotamadia Pontianak hanya sekitar 23,39 % saja dari luas wilayah Kalimantan Barat. (BPS 1994).

Berkenaan dengan peta demografis Kalbar, berdasarkan hasil sensus penduduk (SP 2000) Kalimantan Barat dihuni hampir empat juta jiwa (3.750.795 jiwa) yang tersebar di seluruh daerah Kabupaten-Kota (angka ini sebelum pemekaran wilayah). Jika dibandingkan dengan luas wilayah, tingkat kepadatan penduduk relatif rendah hanya sekitar 22 – 24 orang per km², dan tingkat penyebaran penduduknyapun tidak merata. Dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi, Kalbar mengalami pertumbuhan sebesar 1,56 %, namun angka HDI (Human Development Index) untuk tahun 1993 masih di bawah rata-rata HDI Nasional berada pada peringkat 24 dari 27 propinsi dan pada tahun 1999 mencapai peringkat 23 dari 26 propinsi. Sedangkan peringkat daya saing daerah (berdasarkan Hasil Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran Tahun 2000), dengan indikator perekonomian daerah, keterbukaan system keuangan, infrastruktur dan SDA, IPTEK, SDM, Kelembagaan, Governance dan kebijakan serta manajemen dan mikro ekonomi menunjukkan peringkat daya saing Kalimantan Barat berada pada posisi cukup rendah yaitu nomor 22 dari 26 Propinsi di Indonesia. (Kamaruzzaman, dkk., Implementasi Harmonis dalam Etnis, Maju dalam Usaha dan Tertib dalam Pemerintahan 2004).

Kemudian ditinjau dari komposisi ummat beragama, sebagian besar penduduk Kalbar menganut agama Islam (2,164,036 Jiwa), Kristen menempati urutan kedua (463,992 Jiwa) kemudian secara berurutan disusul oleh Katolik (882,883 Jiwa), Hindhu (12,225 Jiwa), Budha (216,800 Jiwa) dan lain-lainnya (71,460 Jiwa). (data keagamaan Daerah Kanwil Depag. Propinsi Kalbar Tahun 2003). Data ini juga diperkuat oleh data yang dikeluarkan oleh Kompas edisi 6 Februari 2004, bahwa penduduk yang beragama Islam di Kalbar sampai pada angka 57,6 %, Katolik (24,1 %), Protestan (10,0 %), Budha (6,4 %), Hindhu (0,2 %) dan lain-lain (1,7 %). Di samping itu Kalbar juga merupakan daerah yang memiliki tingkat heterogenitas budaya yang relatif tinggi, hal itu terlihat dari beragamnya suku bangsa (etnis) yang ada. Komposisi penduduk Kalbar dapat dikategorikan ke dalam 4 etnis besar, yaitu Dayak (34 %); Melayu (34 %); Cina atau Etnis Cina Indonesia (12,5 %) dan etnis asal interselular (19,5 %). (Kamaruzzaman, dkk., 2004).

Berdasarkan konfigurasi sosio-kultural sebagaimana dipaparkan di atas, menjadikan Kalbar memiliki karakteristik yang khas, dan sekaligus menjadi tantangan tersendiri bagi semua kita khususnya para juru dakwah dalam merumuskan orientasi, tujuan dan strategi dakwah Islamiyah sehingga ikhtiar dakwah tidak tercerabut dari konteks setting sosialnya dan kebutuhan masyarakatnya, dengan demikian tujuan dakwah agar terjadi perubahan benar-benar terwujud.

Belajar dari sepak terjang Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kalimantan Barat, penulis ingin membeberkan sedikit aktivitas lembaga tersebut dan peta sebaran da’i di Kalimantan Barat sebagai bahan berbagi informasi (sharing) dalam upaya mensinergikan gerak langkah aktivitas dan/atau gerakan dakwah dari masing-masing organisasi dan lembaga dakwah. Hal ini penulis lakukan mengingat penulis aktif di lembaga tersebut sehingga lebih mengetahui secara pasti peta sebaran da’i di Kalimantan Barat tanpa bermaksud memberikan pujian yang berlebihan serta menisbikan peran dan sebaran da’i dari organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang intens dalam bidang penyiaran agama.

Dalam merekrut dan mengangkat para juru dakwah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kalimantan Barat lebih memprioritaskan merekrut masyarakat tempatan yang bersedia dan siap dijadikan juru dakwah di tempat kelahirannya, ketimbang mengirimkan da’i ke tempat tujuan dan/atau medan dakwah yang notabene daerah terpencil. Hal ini dilakukan mengingat tidak memakan waktu yang cukup lama bagi seorang juru dakwah untuk mengadaptasi khazanah budaya dan kearifan lokal masyarakat tempatan, sehingga dengan mudah dan cepat merumuskan orientasi, tujuan serta strategi dakwah dalam upaya membangun sebuah gerakan dakwah. Dari data Desember 2006, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kalimantan Barat telah memiliki 42 orang da’i yang tersebar di 9 (sembilan) Kabupaten/Kota seantero Kalimantan Barat, yakni Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas, Kota Pontianak dan Kota Singkawang. Untuk lebih rinci lihat peta berikut.

Dari peta di atas, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kalimantan Barat telah memiliki 2 orang juru dakwah di Kabupaten Kapuas Hulu (Nanga Tepuai dan Bunut Hulir), 4 orang da’i di Kabupaten Sintang (Belimbing, Dedai, Binjai Hulu dan Sintang), 4 orang muballigh di Kabupaten Sanggau (Sanggau, Sekayam dan Tayan Hilir), 6 orang juru dakwah di Kabupaten Landak (Ngabang, Mandor, Serimbu dan Landak), 6 orang da’i di Kabupaten Ketapang (Matan Hilir Utara, Desa Tuan-Tuan, Tumbang Titi dan Ketapang), 5 orang muballigh di Kabupaten Pontianak (Mempawah Hilir, Sei Ambangah dan Sei Raya), 5 orang juru dakwah di Kabupaten Sambas (Pemangkat dan Sambas), 5 orang da’i di Kota Pontianak (Pontianak Barat, Pontianak Selatan dan Pontianak Kota) dan 5 orang muballigh di Kota Singkawang (Sedau dan Pasiran). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kalimantan Barat telah mengangkat juru dakwah di semua Kabupaten/Kota seantero Kalimantan Barat, walaupun memang disadari sepenuhnya belum dapat mencapai sampai ke daerah-daerah terpencil mengingat beragam keterbatasan yang belum terselesaikan.

Berangkat dari pemaparan di atas, diharapkan kepada masing-masing organisasi keagamaan dan/atau lembaga dakwah dapat melakukan hal yang sama dalam rangka mensinergikan gerak langkah membangun gerakan dakwah yang simultan dan berkesinambungan guna menghadirkan sosok masyarakat Islam yang rahmatan lil ‘alamin (civilize).

B. Problematika Dakwah

Terhadap problematika dakwah yang saat ini kita hadapi, penulis mengidentifikasi paling tidak persoalan ini dimulai dari pemaknaan dakwah yang telah mengalami distorsi. Hari ini secara tidak sadar, dakwah sebagai sebuah ikhtiar, pemaknaannya telah mengalami pendistorsian. Penyempitan makna semantic hingga rumusan formula/pola dakwah yang terkesan formalistic ceremonial adalah diantara distorsi yang langsung kelihatan. Dakwah hanya diartikan sebagai pekerjaan formal rutin yang dilakukan oleh para juru dakwah (Da’i) dari satu mimbar ke mimbar lain, dari satu hari besar ke hari besar lainnya, atau juga dari satu thema ke thema lainnya. Dakwah pada awalnya dimaknakan sebagai usaha menciptakan sistem kehidupan yang civilize (beradab) seperti pembentukkan masyarakat Madinah pada masa Rasululah SAW, menjadi sekedar rutinitas ferbal yang formal, yang kemudian juga hanya mengangkat thema-thema monoton seperti persoalan fiqh ubudiyah, pahala dan dosa, surga dan neraka dan lain sebagainya. Mengutip istilah Yudi latif bahwa dakwah hari ini yang dilakukan pada pokoknya merupakan aktivitas yang masih berkutat dilingkaran dakwah “cuap-cuap” yang kedalamannya tidak sampai ditenggorokkan, apa lagi ke ulu hati. Sebutan khas untuk jenis ini adalah “santapan ruhani”. Maka, setelah kenyang menyantap himbauan “surga neraka”, hadirin lantas puas dan bubar (Yudi Latif:1999).

Sebagai konsekuensinya, maka dakwah menjadi bias. Pada level praksis, model dakwah seperti tersebut bisa mengakibatkan munculnya sikap mendua dikalangan umat. Di satu pihak, mereka menggembar-gemborkan kehebatan misi Islam, namun pada saat yang sama, mereka lupa terhadap berbagai wujud kemungkaran dan kemaksiatan yang begitu gampang dipergoki disekelilingnya, atau bahkan yang bersemayam pada dirinya sendiri. Sedangkan formalisme dakwah adalah keadaan dimana dakwah terlembaga secara kaku/rigid dan seolah-olah dakwah hanya semata-mata tugas dan tanggung jawab para juru dakwah.

Belum lagi misalnya kalau kita melihat kenyataan objektif potret dakwah Islamiyah yang dilakukan dilapangan. Realitas dakwah menunjukkan betapa orang memahami bahwa dakwah hanyalah tugas para juru dakwah yang sengaja telah di tunjuk baik yang mewakili institusi ataupun perorangan. Dakwah menjadi pekerjaan “professional” sempit yang tertutup bagi orang yang merasa dirinya bukan bagian dari profesi tersebut. Orang akan mengasumsikan bahwa karena bukan tugas mereka, jadi lebih baik kalau seandainya bersikap cuek. Dakwah menjadi ekslusif. Bias dari pemahaman ini mudah ditebak, bahwa sangat rendah partisipasi individu dalam kegiatan dakwah. Seandainya partisipasi rendah, apa mungkin akan optimal masalah terselesaikan? atau bukan bahkan justru akan menambah permasalahan baru!

Dakwah juga yang sering dilakukan selama ini sifatnya masih parsial. Ia merupakan sebuah gerakan yang terpisah-pisah yang dijalankan secara sendiri-sendiri. Tidak terjadi komunikasi penyamaan visi, sharring informasi sampai kepembagian wilayah, sehingga semua dijalankan sebagaimana apa adanya, semua diproses melalui rangkaian yang prematur. Jadi, wajar kalau kemudian dakwahpun menghasilkan sesuatu yang masih prematur pula. Sebagaimana kita ketahui, di kita, banyak organisasi-organisasi ke-Islaman yang bergerak pada wilayah kemasyarakatan. Semua orientasi programnya kepada ummat, tetapi sangat jarang kita mendengar bahwa diantara organisasi keislaman tersebut duduk bersama menyamakan plat form, bertukar informasi dan pengalaman atau seandai dianggap perlu berbagi wilayah kerja. Hal ini niscaya agar tidak ada satu pun segment persoalan yang terlewatkan untuk digarap. Bahasa sederhana untuk menggambarkan keadaan ini adalah bahwa kita tidak mempunyai jaringan yang dapat mengakseskan beragam potensi dan kekuatan yang ada pada masing-masing institusi.

Selain itu, nampaknya gerakan dakwah masih merupakan gerakan elitis yang hanya menyentuh beberapa wilayah segmen masyarakat, dan ironisnya adalah yang ditinggalkan dari wilayah itu adalah wilayah masyarakat kebanyakan / akar rumput. Padahal, fakta objektifnya justru merekalah merupakan segment yang paling dirasakan perlu untuk mendapatkan sentuhan-sentuhan kearifan dari nilai-nilai agama lewat media dakwah. Biasanya segment masyarakat ini tinggal di wilayah pinggiran bahkan di pedalaman yang memang agak sulit dijangkau.

Lebih menukik lagi, seandainya dilakukan kegiatan dakwah di wilayah tersebut, muncul kemudian persoalan baru yakni sesuatu yang menyangkut projudice (prasangka). Kadang kegiatan dakwah dicurigai sebagai kegiatan misi yang dianggap membahayakan bagi eksistensi komunitas yang lain dan karenanya ia harus tidak diberikan ruang untuk berkembang. Berawal dari projudice seperti inilah kemudian muncul gesekan-gesekan sosial yang menjadikan kondisi tidak kondusif.

Dari sekian potret permasalahan dakwah ini, maka menjadi niscaya bagi kita untuk mereformulasi dakwah dan gerakannya agar hakekat dakwah sebagai media pentransformasi terjadinya perubahan dalam masyarakat dan individu menjadi masyarakat dan individu yang civilize tercapai. Dakwah harus menjadi sebuah aktivitas kolektif yang mesti dilakukan secara bersama-sama sesuai dengan proporsinya masing-masing. K.H. Didin Hafidhudin, M.Sc mengutip Amrullah Achmadi, mendefinisikan dakwah sebagai: Áktualisasi iman yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman, dalam bidang kemasyarakatan yang dilakukan secara teratur, untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia dalam dataran individu dan sosio-kultural” (Didin Hafidhudin: 1998).

C. Tawaran Penyelesaian

Berangkat dari problematika dakwah sebagaimana yang teridentifikasi di atas, ada beberapa tawaran solusi yang penulis coba hadirkan, dengan harapan menjadi bahan renungan sekaligus referensi untuk memformulasi langkah taktis strategis bagi semua kita.

Secara ontologis bahwa kegiatan berdakwah – melakukan transformasi nilai-nilai Ilahiah- adalah satu keniscayaan bagi setiap individu manusia. Ia adalah ikhtiar yang tidak mengenal sekat dan batas suku, ras, pendidikan, profesi, umur, jenis kelamin, golongan dan bahkan agama. Hal ini niscaya karena persoalan yang ada adalah persoalan manusia, oleh karena itu semua individu manusia harus mempunyai komitmen moral untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Artinya berdakwah adalah sebuah pekerjaan yang menyangkut komitmen kemanusiaan. Maka dari itu dalam pelaksanaannyapun dakwah tidak dibatasi oleh sekat jarak, waktu dan ruang. Semua adalah lahan kita untuk berdakwah dan semua dari totalitas perbuatan kita adalah dakwah. Hal inilah yang niscaya untuk kita pahamkan terlebih dahulu kepada semua. Hal ini penting agar semua orang berbuat untuk dakwah. Dakwah harus menjadi gerakan dan kerja bersama secara kolektif dimana semua berperan sesuai dengan proporsinya masing-masing.

Dalam konteks pergeseran makna dakwah, maka niscaya dakwah tidak hanya mengambil lokus di masjid, langgar, mimbar dan podium, di saat-saat tertentu dengan hanya menggunakan tradisi lisan (verbalistic approach), melainkan lebih dari itu bahwa dakwah adalah totalitas kehidupan kita. Apalagi dengan perkembangan sekarang ini, seruan verbal untuk berpegang kepada nilai-nilai agama dan memperkokoh kurang trend, karena hampir “tidak bermakna”. Salah satu caranya adalah bagaimana kita menata system kehidupan masyarakat dengan memperkokoh pilar hukum, pendidikan, ekonomi, budaya dan lain-lain yang menjadikan masyarakat langsung sebagai motor penggeraknya.

Menyadari betapa urgen dan signifikannya peran dakwah dalam kemampuannya untuk menata sebuah masyarakat ideal, maka dipandang perlu untuk aktivitas dakwah dijadikan sebagai gerakan yang terorganisir yang dikelola secara professional.

Salah satu penyebab efektivitas dakwah tidak tercapai secara maksimal adalah karena gerakan dakwah yang parsial yang berjalan sendiri-sendiri, maka sangat perlu untuk mengkonsulidasikan kembali simpul-simpul dakwah dalam sebuah jaringan dakwah yang didalamnya terbangun komunikasi solid dalam satu common plat form. Ini dalam rangka membuat pola yang tersistem dalam sebuah gerakan, tetapi tidak untuk menyeragamkan. Imam Ali pernah mengatakan bahwa kemaksiatan / kemungkaran yang terorganisir niscaya akan mengalahkan sebuah kebajikan tetapi ia tidak terorganisir.

Karena wilayah sebaran daerah begitu luas dan persoalan ummat yang kompleks serta mustahil hal ini dapat ditangani oleh satu atau dua pergerakan dakwah saja, oleh sebab itu barangkali dipandang perlu untuk menggagas untuk dibuatnya satu pusat studi dan informasi dakwah, yang didalamnya mengakses informasi apa saja yang berkaitan dengan dakwah Islamiyah dan sekaligus sebagai forum konsultasi, pertemuan, komunikasi dan sebagainya. Lembaga ini adalah lembaga terbuka lintas organisasi, lintas wilayah dan golongan.

Akhirnya, menurut kami dakwah bukan hanya ikhtiar ruhaniah, tetapi juga merupakan terapi bagi segala persoalan kemanusiaan yang merupakan tanggung jawab kemanusiaan setiap manusia. Oleh karenanya tanggung jawab ini tidak seharusnya berjalan secara apa adanya mengalir alamiah. Terlebih penting lagi adalah bahwa dakwah harus terpola dan tersistem agar hakekat dan tujuan dakwah menjadi tercapai. Membenahi sekaligus mengkonsiladasikan simpul-simpul dakwah dalam satu jaringan adalah sebuah kemestian dalam upayanya untuk meminimalisir kelemahan-kelemahan dari gerakan-gerakan dakwah saat ini yang telah dilakukan yang muaranya adalah terciptanya masyarakat civilize. Bukankah itu yang menjadi cita-cita kita semuanya ummat manusia ? dan semoga apa yang menjadi pengharapan kita bersama tidak hanya sekedar pengharapan, dan hanya kepada Allah SWT tempat kita bergantung.


Buku Tamu


ShoutMix chat widget