Selamat Datang di Blog Tatang Saputra , SMA Negeri 1 Bengkayang , Jalan Sanggau Ledo No. 17 , Bengkayang , Kal-Bar , HP 085822034167

Perlunya Evaluasi Ujian Nasional

Kacaunya pelaksanaan ujian nasional tahun ini sekali lagi menunjukkan perlunya evaluasi serius. Evaluasi penting karena, setelah enam tahun ujian nasional berlangsung, keluhan siswa, pendidik dan masyarakat bukannya berkurang. Bahkan tahun ini muncul gejala baru, yaitu sejumlah sekolah di daerah menolak hasil ujian yang sudah mereka terima.
Tak ada yang membantah bahwa ujian nasional bertujuan baik, yaitu meningkatkan mutu pendidikan. Dengan standardisasi soal ujian secara nasional, diharapkan sekolah-sekolah terpacu meluluskan sebanyak mungkin siswanya. Masalahnya, tak ada jaminan bahwa kemampuan siswa di seluruh Indonesia sudah seragam untuk bisa menjawab soal-soal ujian nasional dengan baik.
Ketidakseragaman itu jelas terlihat dari hasil akreditasi Badan Akreditasi Nasional terhadap 57.292 sekolah dan madrasah di Indonesia pada 2007. Hasil audit menunjukkan, sebagian besar sekolah berkategori A (bagus) adalah sekolah-sekolah di Jawa. Sebaliknya, di beberapa provinsi di luar Jawa, seperti Maluku, Sulawesi Barat, Bengkulu, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, dan Papua, sebagian besar sekolah hanya mampu masuk kategori C. Sekolah-sekolah yang ada di daerah belum tentu bisa memenuhi 8 standar nasional pendidikan , terutama standar sarana prasarana serta standar pendidik dan tenaga kependidikan.
Disparitas mutu pendidikan inilah yang menimbulkan berbagai ekses dalam pelaksanaan ujian nasional. Karena soal ujian berlaku nasional, semua sekolah pasti tak mau dipermalukan gara-gara banyak muridnya tak lulus. Akibatnya, berbagai cara curang ditempuh yang bukan hanya dilakoni oleh siswa sebagai “objek” dari pelaksanaan ujian nasional , tetapi pelaku pendidikan pun turut ambil ambil bagian , karena jika siswanya banyak yang tidak lulus berakibat pada menurunnya pamor sekolah tersebut. Tak mengherankan, tahun ini muncul rekor mengejutkan: 33 sekolah di berbagai provinsi harus mengulang ujian nasional gara-gara dicurigai terjadi “kecurangan massif”.
Ekses bagi siswa tak kalah berat. Mereka sudah belajar tiga tahun di SMP atau SMA, namun nasibnya seolah hanya ditentukan oleh enam pelajaran yang diuji dalam sepekan. Maka, banyak kisah tragis. Misalnya, bintang kelas selama tiga tahun berturut-turut bisa saja tidak lulus karena gagal dalam ujian nasional , siswa yang sudah dinyatakan lolos PMDK harus menunda harapannya karena tidak lulus ujian. Kisah lebih tragis pun kerap terjadi, seperti siswa bunuh diri gara-gara tidak lulus ujian nasional.
Ekses itu bisa dihindari bila Departemen Pendidikan Nasional dan Badan Standardisasi Pendidikan Nasional menggunakan model ujian seperti yang tahun ini diterapkan di tingkat SD. Berbeda dengan ujian nasional SMP/SMA, di tingkat SD tak ada tingkat kelulusan minimal yang berlaku nasional. Lulus-tidaknya siswa diserahkan kepada penyelenggara pendidikan masing-masing.
Jenis soal pun tidak didominasi dari pusat. Materi soal disusun bersama antara penyelenggara pendidikan provinsi dan Badan Standardisasi Pendidikan Nasional. Porsi masing-masing adalah 25 dan 75 persen. Dengan proporsi ini, siswa masih mendapat kesempatan menjawab soal yang sesuai dengan kualitas pendidikan di daerahnya.
Model seperti ini tak perlu dikhawatirkan mengurangi tujuan menyeragamkan mutu pendidikan. Penyeragaman bisa dilakukan dengan tetap menggunakan hasil ujian nasional sebagai patokan ranking sekolah. Maka, tantangan bagi sekolah adalah menaikkan peringkatnya dari tahun ke tahun. Kelak, ketika ranking tiap sekolah tidak lagi terlalu timpang, model ujian nasional seperti sekarang bisa saja diberlakukan.
Dikutip dari majalah TEMPO

Buku Tamu


ShoutMix chat widget