Selamat Datang di Blog Tatang Saputra , SMA Negeri 1 Bengkayang , Jalan Sanggau Ledo No. 17 , Bengkayang , Kal-Bar , HP 085822034167

Sejarah NU

Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain.

Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bidah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.

Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Paham Keagamaan

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti satu mazhab:Syafi'i Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

Basis Pendukung

Jumlah warga NU yang merupakan basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 80 juta orang , yang mayoritas di pulau jawa, kalimantan, sulawesi dan sumatra dengan beragam profesi, yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.

Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basisi intelektual dalam Nu juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.

Tujuan dan Usaha Organisasi

Tujuan Organisasi

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Usaha Organisasi

  1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
  2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.
  3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
  4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.
  5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Struktur Organisasi

  1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
  2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
  3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
  4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
  5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)

Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:

  1. Mustayar (Penasihat)
  2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)

Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:

  1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)

Jaringan Organisasi

Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:

  • 31 Wilayah
  • 339 Cabang
  • 12 Cabang Istimewa
  • 2.630 Majelis Wakil Cabang / MWC
  • 37.125 Ranting

NU dan Politik

Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.

NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.

Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.


Selengkapnya...

Pendidikan Sekarang Dan Masa Depan

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat.Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.


  • Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan". Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa dan bukannya perpecahan.
  • Mempertimbangkan pendidikan anak-anak sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa, siap merefleksikan semua yang ditampakkan padanya.
  • Empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan oleh UNESCO yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu: (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
  • Dalam rangka merealisasikan `learning to know`, Guru seyogyanya berfungsi sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan siswa dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.
  • Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) akan bisa berjalan jika sekolah memfasilitasi siswa untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan namun tumbuh berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Keterampilan dapat digunakan untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang.
  • Pendidikan yang diterapkan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan dari daerah tempat dilangsungkan pendidikan. Unsur muatan lokal yang dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.

    learning to be (belajar untuk menjadi seseorang) erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Bagi anak yang agresif, proses pengembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi anak yang pasif, peran guru dan guru sebagai pengarah sekaligus fasilitator sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri siswa secara maksimal.
  • Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima (take and give), perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya proses "learning to live together" (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Penerapan pilar keempat ini dirasakan makin penting dalam era globalisasi/era persaingan global. Perlu pemupukkan sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama agar tidak menimbulkan berbagai pertentangan yang bersumber pada hal-hal tersebut.

    Dengan demikian, tuntutan pendidikan sekarang dan masa depan harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral manusia Indonesia pada umumnya. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian diharapkan dapat mendudukkan diri secara bermartabat di masyarakat dunia di era globalisasi ini.
  • Mengenai kecenderungan merosotnya pencapaian hasil pendidikan selama ini, langkah antisipatif yang perlu ditempuh adalah mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, serta perbaikan manajemen di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah, khususnya di kabupaten/kota, seyogyanya dikaji lebih dulu kondisi obyektif dari unsur-unsur yang terkait pada mutu pendidikan, yaitu: (1) Bagaimana kondisi gurunya? (persebaran, kualifikasi, kompetensi penguasaan materi, kompetensi pembelajaran, kompetensi sosial-personal, tingkat kesejahteraan); (2) Bagaimana kurikulum disikapi dan diperlakukan oleh guru dan pejabat pendidikan daerah?; (3) Bagaimana bahan belajar yang dipakai oleh siswa dan guru? (proporsi buku dengan siswa, kualitas buku pelajaran); (4) Apa saja yang dirujuk sebagai sumber belajar oleh guru dan siswa?; (5) Bagaimana kondisi prasarana belajar yang ada?; (6) Adakah sarana pendukung belajar lainnya? (jaringan sekolah dan masyarakat, jaringan antarsekolah, jaringan sekolah dengan pusat-pusat informasi); (7) Bagaimana kondisi iklim belajar yang ada saat ini?.
  • Mutu pendidikan dapat ditingkatkan dengan melakukan serangkaian pembenahan terhadap segala persoalan yang dihadapi. Pembenahan itu dapat berupa pembenahan terhadap kurikulum pendidikan yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal, menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan mandiri. Perlu diidentifikasi unsur-unsur yang ada di daerah yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses peningkatan mutu pendidikan, selain pemerintah daerah, misalnya kelompok pakar, paguyuban mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat daerah, perguruan tinggi, organisasi massa, organisasi politik, pusat penerbitan, studio radio/TV daerah, media masa/cetak daerah, situs internet, dan sanggar belajar.

· Sumber: www.pendidikan.net

· Penulis: M. Sobry Sutikno (Mahasiswa S.3 UNJ / Direktur Eksekutif YNTP Research and Development NTB)
Email : sobry@sobrysutikno.com

· Website: http://sobrysutikno.com


Selengkapnya...

SUKSES UJIAN NASIONAL 2009

Dalam rangka mempersiapkan anak didik menghadapi Ujian Nasional yang akan dilaksanakan pada tanggal 20 s.d. 24 April 2009 sehingga diharapkan peserta didik tidak hanya mampu melewati batas minimal lulus ujian seperti yang tertera dalam Permen 77 tahun 2008 , tetapi peserta didik dapat pula meningkatkan perolehan nilai Ujian Nasional dari tahun-tahun sebelumnya , maka sekolah , orang tua siswa (komite) dan lembaga pendidikan perlu berbagi peran seperti yang telah dilakukan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah dalam Rakerdin-nya , antara lain :

PERAN DINAS PENDIDIKAN
1. mensosialisasi target ujian kepada Kepala Sekolah dan kelompok MGMP
2. melaksanakan ujicoba sekurang-kurangnya 2 kali
3. mensosialisasi strategi peningkatan daya serap kepada kelompok MGMP
4. mensosialisasi Kisi-Kisi Ujian Nasional tahun 2009
5. bersama Jaringan Inovasi Pendidikan ( JIP ) menyiapkan /menghimpun latihan soal
dan mendistribusikan ke kelompok MGMP dan MKKS


PERAN MKKS
1. melaksanakan ujicoba sebanyak 1 kali
2. membantu melakukan sosialisasi SKL
3.
membantu distribusi himpunan latihan soal
4. mensosialisasi strategy peningkatan daya serap kepada MGMP
5. melakukan evaluasi secara periodik ketercapaian targeyt daya serap dan rata-rata nilai


PERAN MGMP
1. mensosialisasi strategi peningkatan saya serap
2. menterjemahkan Kisi-Kisi Ujian Nasional menjadi kisi-kisi soal try out
3. menyiapkan soal-soal latihan
4. melakukan analisis hasil try out
5. menentukan strategi tindak lanjut hasil try out


PERAN KEPALA SEKOLAH
1. menentukan target capaian nilai disekolahnya masing-masing (ditulis di meja kerjanya)
2. mengadakan kontrak kinerja dengan guru pengajar UN di sekolahnya
3. mengontrol pelaksanaan pembelajaran mapel UN
4. memfasilitasi guru mapel UN melaksanakan pembelajaran tambahan di sekolah
5. menggerakkan guru BK untuk membantu membimbing siswa
6. bersama guru UN melaksanakan latihan ujian di tingkat sekolah
7. melakukan pemantauan capaian target dan menyusun strategy peningkatannya
8. memberikan reward dan punishment kepada guru UN
9. rajin berdoa dan beribadah


PERAN GURU
1. menetapkan target masing2 kelas yang diampunya (ditulis pada bagian atas daftar nilai)
2. melaksanakan sosialisasi terget capaian sekolah kepada siswa
3. membimbing siswa menetapkan target pribadi
4. melaksanakan pembelajaran secara efektif dengan berbagai strategy
5. memantau pembelajaran siswa
6. melakukan analisis hasil trayout dan melaksanakan tindak lanjut
7. melaksanakan pembimbingan siswa
8. melakusanakan refleksi diri untuk mengetahui kekurangannya dalam mengajar
9. rajin berdoa dan beribadah

PERAN SISWA
1. menetapkan target pribadi ( ditulis pada halaman depan buku catatannya )
2. mengikuti pembelajaran bersama guru
3. giat belajar dan berlatih
4. memantau perolehan nilai setiap kali ulangan harian dan try out
5. melakukan refleksi diri untuk mengetahui kelemahan dalam belajar
6. rajin berdoa dan beribadah

PERAN ORANG TUA
1. memotivasi anak untuk selalu giat belajar
2. mendorong dan mendukung siswa untuk melaksanakan kegiatan belajar kelompok , les yang dilakukan sekolah , privat dan segala hal yang berkaitan dengan persiapan ujian nasional.
3. melakukan proses bimbingan di rumah secara intensif kepada anak , baik terhadap kesiapan akademik maupun mental.
4. selalu mengawasi anak terutama dalam aktifitas di luar sekolah agar tidak banyak membuang waktu dengan percuma.
5. melakukan pemantauan terhadap kesiapan anak dalam menghadapi Ujian Nasional
6. membuatkan jadwal belajar di rumah , setelah anak mengikuti kegiatan tatap muka di kelas
7. membatasi anak untuk tidak terlalu banyak aktif dalam kegiatan , baik ektrakurikuler
maupun kegiatan di luar lainnya.
8.
memperbanyak ibadah dan berdo’a.



Selengkapnya...

Mencari Haji Mabrur yang Transformatif


Oleh : Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar
Penulis “Buku Pintar Calon Haji”,
Alumni ESQ Eksekutif Nasional angk. 37

Setiap tahun minimal dua ratus ribu manusia Indonesia berada di antara hampir tiga juta lebih muslim yang berhaji di tanah suci. Demikianlah sudah berjalan berpuluh tahun. Maka kita pantas bertanya, sejauh mana para haji ini bisa memberi manfaat bagi sekitarnya. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi sekitarnya”.

Sekiranya haji hanya dipandang sekedar rutinitas ritual - apalagi bagi sebagian orang: rutinitas bisnis – niscaya jutaan alumni tanah suci ini hanya menghambur-hamburkan devisa negara. Sama seperti orang yang sholat lima waktu, namun terus saja korupsi (sholatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar). Atau orang yang puasa namun yang didapat cuma lapar dan hausnya saja.
Ini artinya, para haji harus mampu menghayati inti ajaran haji. Dan tulisan ini mencoba menguraikan secara singkat, bagaimana mendapatkan haji yang transformatif, haji yang mengubah masyarakat, dari masyarakat yang bodoh ke masyarakat yang cerdas, dari masyarakat tertindas ke masyarakat merdeka, dari masyarakat jahiliyah ke masyarakat Islami, tanpa menafikan pluralitas di dalamnya.
Pelajaran Lima Inti Ritual Haji
Haji memiliki lima ritual inti, yakni ihram, thawaf, sa’i, wukuf dan melempar jumrah. Apa pelajaran yang harus dihayati oleh lima inti ritual ini?
Ihram adalah simbol penyucian diri. Sungguh manusia diciptakan dalam keadaan sama, tidak punya apa-apa kecuali ruh sifat-sifat mulia Allah yang ditiupkan dalam dirinya. Karena Allah al-’Adl (yang Maha Adil), maka manusia cenderung suka diperlakukan adil. Karena Allah al-’Alim (Yang Maha Berilmu) maka manusia cenderung suka pada ilmu baru. Dan karena Allah Ar Rahman (Yang Maha Penyayang) maka manusia suka disayang oleh siapapun. Hanya saja, di dunia nyata dijumpai manusia yang berperilaku curang, tidak mau belajar dan kejam pada sesama. Ini terjadi karena fitrah diri mereka tertutup oleh noda-noda kesombongan, kerakusan, kedengkian atau kemalasan. Dari noda-noda inilah hati harus “diihramkan”. Hati yang telah “ihram” akan lebih mudah menerima hidayah, menerima ilmu, sehingga potensi diri yang luar biasa dalam diri manusia bisa dibangkitkan.
Agar bangkit selain dibutuhkan hati yang bersih, juga dibutuhkan pedoman atau SOP, yaitu syari’at-Nya. Pada syari’at ini setiap pribadi yang beriman wajib mengacu atau “berthawaf”. Bulan dan satelit berthawaf mengelilingi bumi. Bumi berthawaf mengelilingi matahari. Bila satelit berhenti berthawaf, maka dia akan hilang atau jatuh. Demikianlah, bila pikiran tidak berthawaf pada syari’at, maka dia akan liar atau beku. Pikiran yang menolak syari’at akan liar mengikuti hawa nafsu, atau bertahan dalam tradisi yang anti modernitas.
Namun tak cukup membuka hati dan mengarahkan pikiran. Aktivitas sehari-hari kita harus dipenuhi dengan kerja nyata, kerja keras, kerja cerdas dan kerja ihlas. Contohlah ibunda Ismail, Siti Hajar, yang tak pernah berputus asa dalam menjemput rizki yang telah disediakan Allah. Pikirannya tak pernah ragu bahwa Allah telah menyediakan rizki bagi setiap mahluknya. Namun dia telah membuktikan langkah menjemput rizki ini dengan sa’i. Maka mari kita “men-sa’i-kan” aktivitas kita selama ini. Aktivitas yang dilandasi keyakinan bahwa Allah pasti memberi peluang sukses, hanya harus kita cari di jalan yang halal secara cerdas.
Setelah rizki didapat, baik itu berupa materi, fisik yang sehat, ilmu yang tinggi, posisi yang dihormati, dan teman yang menyenangkan, maka semua ini perlu dihadirkan di tengah manusia. Inilah falsafah wukuf, hadir di Arafah bersama tiga juta manusia yang didepan Allah hanya dinilai taqwanya. Kita harus mampu “me-wukuf-kan” semua rizki yang kita dapat, karena di depan Allah bukan itu yang dinilai, namun manfaatnya di tengah masyarakat. Apa artinya kekayaan kalau tidak dibagi kepada dhuafa, apa artinya tubuh yang sehat kalau tidak digunakan untuk amar ma’ruf nahi munkar, apa artinya ilmu yang tinggi kalau tidak dipakai mencerdaskan umat, apa artinya posisi yang dihormati bila tidak mampu mengayomi rakyat, dan apa artinya teman yang banyak bila tidak mampu saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.
Semua jalan di atas pasti akan diganggu oleh orang-orang yang tidak suka, sebagaimana Sunnatullah iblis yang tidak suka Allah mencipta manusia sebagai wakilnya di muka bumi (Khalifatul fil Ardh) untuk menebar rahmat ke seluruh alam. Karena itu, setan-setan kesombongan, kerakusan, kedengkian dan kemalasan akan terus bergentayangan menghalangi kita. Untuk itu, setan-setan ini harus “dilempari” sebagaimana para hujaj melempar jumrah. Dan setelah dilempar tentu saja mereka tidak boleh “dibawa pulang” alias “direhabilitasi”.
Meng-“ihram”-kan hati, men-“thawaf”-kan pikiran, men-“sai”-kan aktivitas, me-“wukuf”-kan rizki yang diterima dan me-“lempar jumrah” pada penghalang amal kita ini selayaknya mampu dihadirkan oleh siapapun, termasuk oleh mereka yang karena faktor finansial, kesehatan atau quota belum mampu memenuhi panggilan Allah ini. Meski demikian, penghayatan nilai-nilai haji ini tentu saja bukan substitusi dari ibadah haji ke tanah suci. Tentu saja, para haji sepulang dari Mekkah, ditunggu perannya menjadi teladan dan agen dalam transformasi bangsa ini, ke arah yang lebih mulia.

Selengkapnya...

PETA DAKWAH KALIMANTAN BARAT ( H. Moh. Haitami Salim , M. Ag )

A. Pengantar

Dalam Islam, peran dakwah sangat strategis dan tidak bisa dilepaskan dari totalitas maksud pen-risalah-annya. Banyak teks-teks Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang berbicara tentang kewajiban tiap-tiap pribadi muslim untuk melakukan kegiatan dakwah, tanpa pandang jabatan, pangkat dan profesi yang diembannya.
Masing-masing individu muslim diharuskan ber-amar ma’ruf nahi munkar mengingat sejarah panjang kerasulan Muhammad SAW., yang menghabiskan dua periode, yakni Makkah dan Madinah adalah dalam rangka membangun gerakan dakwah yang setiap orang ikut ambil bagian guna menciptakan masyarakat yang berkeadaban. Entah sejak kapan gerakan dakwah yang telah berhasil membangun sebuah imperium Islam terdis torsi menjadi hanya sekedar sebuah ritual formal belaka dan cenderung elitis yang seolah-olah khusus diembankan kepada para agamawan dengan cara-cara yang hampir baku.



Allah berfirman:

و لتكن منكم ا مة يد عو ن الي ا لخير و ياء مر ون با لمعروف وينهو ن عن ا لمنكر و او لئك هم المفلحو ن

Artinya: “Dan hendaklah ada sebagian dari kamu sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan dan menghancurkan kemungkaran dan mereka adalah orang-orang yang menang”. (Al Imran : 104)

Berdasarkan ayat ini, dapat kita simpulkan bahwa essensi gerakan dakwah adalah “ikhtiar kemanusiaan yang bersifat universal”, pelaku dan sasaran dakwah itu dari manusia dan untuk manusia. Universalitas dakwah itu melampaui batas ras, suku, bangsa dan bahkan agama. Namun, Allah membingkai gerakan dakwah itu dengan aturan-aturan main yang sedikit ketat, seperti dalam An Nahl ayat 125:

اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Artinya: “Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijakan), nasihat atau pelajaran yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Dalam ayat tersebut ada dua bingkai normatif bagi gerakan dakwah, yaitu dengan hikmah dan mau’izah al Hasanah. Secara etimologi, hikmah adalah al-‘adl (keadilan), al-Hilm (kesabaran dan ketabahan), an-nubuwah (kenabian) yang mencegah kebodohan dan kemungkaran, serta perkataan yang cocok dengan al-haq (Kebenaran). Kemudian Al-mau’izhah al Hasanah yaitu menasihati seseorang dengan tujuan tercapainya suatu manfaat atau maslahat baginya (Husein Fadhilan:1997).

Tujuan akhir dakwah adalah hadirnya satu tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Illahiah sebagai fondasi moral bagi terciptanya masyarakat yang teratur dan beradab. Tujuan ini tidak akan tercapai dan berhasil diraih manakala umat manusia mengabaikan tugas kekhalifahannya, guna mengajak sesama manusia untuk tunduk pasrah (Islâm) kepada Allah SWT. Adapun cara atau metodenya bersifat kondisional, namun tetap mengedepankan cara-cara atau bingkai normatif yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Salah satu tugas kekhalifahan adalah merumuskan orientasi, tujuan dan strategi dakwah guna membangun gerakan dakwah yang simultan dan berkesinambungan dalam rangka menciptakan masyarakat yang berkeadaban. Tindakan perumusan orientasi, tujuan dan strategi dakwah ini dilakukan setelah upaya pemetaan dakwah. Tulisan ini akan sedikit membahas mengenai peta dakwah Kalimantan Barat.

A. Peta Sebaran Da’i di Kalimantan Barat: Studi Kasus DDII Kalbar

Sebelum penulis menarasikan beberapa hal yang menjadi persoalan dalam Dakwah Islamiyah, sangat penting kita memahami konfigurasi ummat di Kalimantan Barat menurut aspek geografis, demografis (sosio kultural dan komposisi ummat beragama). Dari segi luas wilayah, Kalimantan Barat merupakan propinsi terbesar keempat setelah Irian Jaya, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah dengan luas wilayah 146.807 km2 atau 1,5 kali luas pulau Jawa. Dengan perincian Kabupaten yang memiliki luas wilayah terbesar adalah Kabupaten Ketapang (24,39 %) dan Kabupaten Kapuas Hulu ( 20,33 %). Sedangkan Kabupaten Sanggau, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas (data sebelum pemekaran wilayah) dan Kotamadia Pontianak hanya sekitar 23,39 % saja dari luas wilayah Kalimantan Barat. (BPS 1994).

Berkenaan dengan peta demografis Kalbar, berdasarkan hasil sensus penduduk (SP 2000) Kalimantan Barat dihuni hampir empat juta jiwa (3.750.795 jiwa) yang tersebar di seluruh daerah Kabupaten-Kota (angka ini sebelum pemekaran wilayah). Jika dibandingkan dengan luas wilayah, tingkat kepadatan penduduk relatif rendah hanya sekitar 22 – 24 orang per km², dan tingkat penyebaran penduduknyapun tidak merata. Dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi, Kalbar mengalami pertumbuhan sebesar 1,56 %, namun angka HDI (Human Development Index) untuk tahun 1993 masih di bawah rata-rata HDI Nasional berada pada peringkat 24 dari 27 propinsi dan pada tahun 1999 mencapai peringkat 23 dari 26 propinsi. Sedangkan peringkat daya saing daerah (berdasarkan Hasil Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran Tahun 2000), dengan indikator perekonomian daerah, keterbukaan system keuangan, infrastruktur dan SDA, IPTEK, SDM, Kelembagaan, Governance dan kebijakan serta manajemen dan mikro ekonomi menunjukkan peringkat daya saing Kalimantan Barat berada pada posisi cukup rendah yaitu nomor 22 dari 26 Propinsi di Indonesia. (Kamaruzzaman, dkk., Implementasi Harmonis dalam Etnis, Maju dalam Usaha dan Tertib dalam Pemerintahan 2004).

Kemudian ditinjau dari komposisi ummat beragama, sebagian besar penduduk Kalbar menganut agama Islam (2,164,036 Jiwa), Kristen menempati urutan kedua (463,992 Jiwa) kemudian secara berurutan disusul oleh Katolik (882,883 Jiwa), Hindhu (12,225 Jiwa), Budha (216,800 Jiwa) dan lain-lainnya (71,460 Jiwa). (data keagamaan Daerah Kanwil Depag. Propinsi Kalbar Tahun 2003). Data ini juga diperkuat oleh data yang dikeluarkan oleh Kompas edisi 6 Februari 2004, bahwa penduduk yang beragama Islam di Kalbar sampai pada angka 57,6 %, Katolik (24,1 %), Protestan (10,0 %), Budha (6,4 %), Hindhu (0,2 %) dan lain-lain (1,7 %). Di samping itu Kalbar juga merupakan daerah yang memiliki tingkat heterogenitas budaya yang relatif tinggi, hal itu terlihat dari beragamnya suku bangsa (etnis) yang ada. Komposisi penduduk Kalbar dapat dikategorikan ke dalam 4 etnis besar, yaitu Dayak (34 %); Melayu (34 %); Cina atau Etnis Cina Indonesia (12,5 %) dan etnis asal interselular (19,5 %). (Kamaruzzaman, dkk., 2004).

Berdasarkan konfigurasi sosio-kultural sebagaimana dipaparkan di atas, menjadikan Kalbar memiliki karakteristik yang khas, dan sekaligus menjadi tantangan tersendiri bagi semua kita khususnya para juru dakwah dalam merumuskan orientasi, tujuan dan strategi dakwah Islamiyah sehingga ikhtiar dakwah tidak tercerabut dari konteks setting sosialnya dan kebutuhan masyarakatnya, dengan demikian tujuan dakwah agar terjadi perubahan benar-benar terwujud.

Belajar dari sepak terjang Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kalimantan Barat, penulis ingin membeberkan sedikit aktivitas lembaga tersebut dan peta sebaran da’i di Kalimantan Barat sebagai bahan berbagi informasi (sharing) dalam upaya mensinergikan gerak langkah aktivitas dan/atau gerakan dakwah dari masing-masing organisasi dan lembaga dakwah. Hal ini penulis lakukan mengingat penulis aktif di lembaga tersebut sehingga lebih mengetahui secara pasti peta sebaran da’i di Kalimantan Barat tanpa bermaksud memberikan pujian yang berlebihan serta menisbikan peran dan sebaran da’i dari organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang intens dalam bidang penyiaran agama.

Dalam merekrut dan mengangkat para juru dakwah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kalimantan Barat lebih memprioritaskan merekrut masyarakat tempatan yang bersedia dan siap dijadikan juru dakwah di tempat kelahirannya, ketimbang mengirimkan da’i ke tempat tujuan dan/atau medan dakwah yang notabene daerah terpencil. Hal ini dilakukan mengingat tidak memakan waktu yang cukup lama bagi seorang juru dakwah untuk mengadaptasi khazanah budaya dan kearifan lokal masyarakat tempatan, sehingga dengan mudah dan cepat merumuskan orientasi, tujuan serta strategi dakwah dalam upaya membangun sebuah gerakan dakwah. Dari data Desember 2006, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kalimantan Barat telah memiliki 42 orang da’i yang tersebar di 9 (sembilan) Kabupaten/Kota seantero Kalimantan Barat, yakni Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas, Kota Pontianak dan Kota Singkawang. Untuk lebih rinci lihat peta berikut.

Dari peta di atas, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kalimantan Barat telah memiliki 2 orang juru dakwah di Kabupaten Kapuas Hulu (Nanga Tepuai dan Bunut Hulir), 4 orang da’i di Kabupaten Sintang (Belimbing, Dedai, Binjai Hulu dan Sintang), 4 orang muballigh di Kabupaten Sanggau (Sanggau, Sekayam dan Tayan Hilir), 6 orang juru dakwah di Kabupaten Landak (Ngabang, Mandor, Serimbu dan Landak), 6 orang da’i di Kabupaten Ketapang (Matan Hilir Utara, Desa Tuan-Tuan, Tumbang Titi dan Ketapang), 5 orang muballigh di Kabupaten Pontianak (Mempawah Hilir, Sei Ambangah dan Sei Raya), 5 orang juru dakwah di Kabupaten Sambas (Pemangkat dan Sambas), 5 orang da’i di Kota Pontianak (Pontianak Barat, Pontianak Selatan dan Pontianak Kota) dan 5 orang muballigh di Kota Singkawang (Sedau dan Pasiran). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kalimantan Barat telah mengangkat juru dakwah di semua Kabupaten/Kota seantero Kalimantan Barat, walaupun memang disadari sepenuhnya belum dapat mencapai sampai ke daerah-daerah terpencil mengingat beragam keterbatasan yang belum terselesaikan.

Berangkat dari pemaparan di atas, diharapkan kepada masing-masing organisasi keagamaan dan/atau lembaga dakwah dapat melakukan hal yang sama dalam rangka mensinergikan gerak langkah membangun gerakan dakwah yang simultan dan berkesinambungan guna menghadirkan sosok masyarakat Islam yang rahmatan lil ‘alamin (civilize).

B. Problematika Dakwah

Terhadap problematika dakwah yang saat ini kita hadapi, penulis mengidentifikasi paling tidak persoalan ini dimulai dari pemaknaan dakwah yang telah mengalami distorsi. Hari ini secara tidak sadar, dakwah sebagai sebuah ikhtiar, pemaknaannya telah mengalami pendistorsian. Penyempitan makna semantic hingga rumusan formula/pola dakwah yang terkesan formalistic ceremonial adalah diantara distorsi yang langsung kelihatan. Dakwah hanya diartikan sebagai pekerjaan formal rutin yang dilakukan oleh para juru dakwah (Da’i) dari satu mimbar ke mimbar lain, dari satu hari besar ke hari besar lainnya, atau juga dari satu thema ke thema lainnya. Dakwah pada awalnya dimaknakan sebagai usaha menciptakan sistem kehidupan yang civilize (beradab) seperti pembentukkan masyarakat Madinah pada masa Rasululah SAW, menjadi sekedar rutinitas ferbal yang formal, yang kemudian juga hanya mengangkat thema-thema monoton seperti persoalan fiqh ubudiyah, pahala dan dosa, surga dan neraka dan lain sebagainya. Mengutip istilah Yudi latif bahwa dakwah hari ini yang dilakukan pada pokoknya merupakan aktivitas yang masih berkutat dilingkaran dakwah “cuap-cuap” yang kedalamannya tidak sampai ditenggorokkan, apa lagi ke ulu hati. Sebutan khas untuk jenis ini adalah “santapan ruhani”. Maka, setelah kenyang menyantap himbauan “surga neraka”, hadirin lantas puas dan bubar (Yudi Latif:1999).

Sebagai konsekuensinya, maka dakwah menjadi bias. Pada level praksis, model dakwah seperti tersebut bisa mengakibatkan munculnya sikap mendua dikalangan umat. Di satu pihak, mereka menggembar-gemborkan kehebatan misi Islam, namun pada saat yang sama, mereka lupa terhadap berbagai wujud kemungkaran dan kemaksiatan yang begitu gampang dipergoki disekelilingnya, atau bahkan yang bersemayam pada dirinya sendiri. Sedangkan formalisme dakwah adalah keadaan dimana dakwah terlembaga secara kaku/rigid dan seolah-olah dakwah hanya semata-mata tugas dan tanggung jawab para juru dakwah.

Belum lagi misalnya kalau kita melihat kenyataan objektif potret dakwah Islamiyah yang dilakukan dilapangan. Realitas dakwah menunjukkan betapa orang memahami bahwa dakwah hanyalah tugas para juru dakwah yang sengaja telah di tunjuk baik yang mewakili institusi ataupun perorangan. Dakwah menjadi pekerjaan “professional” sempit yang tertutup bagi orang yang merasa dirinya bukan bagian dari profesi tersebut. Orang akan mengasumsikan bahwa karena bukan tugas mereka, jadi lebih baik kalau seandainya bersikap cuek. Dakwah menjadi ekslusif. Bias dari pemahaman ini mudah ditebak, bahwa sangat rendah partisipasi individu dalam kegiatan dakwah. Seandainya partisipasi rendah, apa mungkin akan optimal masalah terselesaikan? atau bukan bahkan justru akan menambah permasalahan baru!

Dakwah juga yang sering dilakukan selama ini sifatnya masih parsial. Ia merupakan sebuah gerakan yang terpisah-pisah yang dijalankan secara sendiri-sendiri. Tidak terjadi komunikasi penyamaan visi, sharring informasi sampai kepembagian wilayah, sehingga semua dijalankan sebagaimana apa adanya, semua diproses melalui rangkaian yang prematur. Jadi, wajar kalau kemudian dakwahpun menghasilkan sesuatu yang masih prematur pula. Sebagaimana kita ketahui, di kita, banyak organisasi-organisasi ke-Islaman yang bergerak pada wilayah kemasyarakatan. Semua orientasi programnya kepada ummat, tetapi sangat jarang kita mendengar bahwa diantara organisasi keislaman tersebut duduk bersama menyamakan plat form, bertukar informasi dan pengalaman atau seandai dianggap perlu berbagi wilayah kerja. Hal ini niscaya agar tidak ada satu pun segment persoalan yang terlewatkan untuk digarap. Bahasa sederhana untuk menggambarkan keadaan ini adalah bahwa kita tidak mempunyai jaringan yang dapat mengakseskan beragam potensi dan kekuatan yang ada pada masing-masing institusi.

Selain itu, nampaknya gerakan dakwah masih merupakan gerakan elitis yang hanya menyentuh beberapa wilayah segmen masyarakat, dan ironisnya adalah yang ditinggalkan dari wilayah itu adalah wilayah masyarakat kebanyakan / akar rumput. Padahal, fakta objektifnya justru merekalah merupakan segment yang paling dirasakan perlu untuk mendapatkan sentuhan-sentuhan kearifan dari nilai-nilai agama lewat media dakwah. Biasanya segment masyarakat ini tinggal di wilayah pinggiran bahkan di pedalaman yang memang agak sulit dijangkau.

Lebih menukik lagi, seandainya dilakukan kegiatan dakwah di wilayah tersebut, muncul kemudian persoalan baru yakni sesuatu yang menyangkut projudice (prasangka). Kadang kegiatan dakwah dicurigai sebagai kegiatan misi yang dianggap membahayakan bagi eksistensi komunitas yang lain dan karenanya ia harus tidak diberikan ruang untuk berkembang. Berawal dari projudice seperti inilah kemudian muncul gesekan-gesekan sosial yang menjadikan kondisi tidak kondusif.

Dari sekian potret permasalahan dakwah ini, maka menjadi niscaya bagi kita untuk mereformulasi dakwah dan gerakannya agar hakekat dakwah sebagai media pentransformasi terjadinya perubahan dalam masyarakat dan individu menjadi masyarakat dan individu yang civilize tercapai. Dakwah harus menjadi sebuah aktivitas kolektif yang mesti dilakukan secara bersama-sama sesuai dengan proporsinya masing-masing. K.H. Didin Hafidhudin, M.Sc mengutip Amrullah Achmadi, mendefinisikan dakwah sebagai: Áktualisasi iman yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman, dalam bidang kemasyarakatan yang dilakukan secara teratur, untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia dalam dataran individu dan sosio-kultural” (Didin Hafidhudin: 1998).

C. Tawaran Penyelesaian

Berangkat dari problematika dakwah sebagaimana yang teridentifikasi di atas, ada beberapa tawaran solusi yang penulis coba hadirkan, dengan harapan menjadi bahan renungan sekaligus referensi untuk memformulasi langkah taktis strategis bagi semua kita.

Secara ontologis bahwa kegiatan berdakwah – melakukan transformasi nilai-nilai Ilahiah- adalah satu keniscayaan bagi setiap individu manusia. Ia adalah ikhtiar yang tidak mengenal sekat dan batas suku, ras, pendidikan, profesi, umur, jenis kelamin, golongan dan bahkan agama. Hal ini niscaya karena persoalan yang ada adalah persoalan manusia, oleh karena itu semua individu manusia harus mempunyai komitmen moral untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Artinya berdakwah adalah sebuah pekerjaan yang menyangkut komitmen kemanusiaan. Maka dari itu dalam pelaksanaannyapun dakwah tidak dibatasi oleh sekat jarak, waktu dan ruang. Semua adalah lahan kita untuk berdakwah dan semua dari totalitas perbuatan kita adalah dakwah. Hal inilah yang niscaya untuk kita pahamkan terlebih dahulu kepada semua. Hal ini penting agar semua orang berbuat untuk dakwah. Dakwah harus menjadi gerakan dan kerja bersama secara kolektif dimana semua berperan sesuai dengan proporsinya masing-masing.

Dalam konteks pergeseran makna dakwah, maka niscaya dakwah tidak hanya mengambil lokus di masjid, langgar, mimbar dan podium, di saat-saat tertentu dengan hanya menggunakan tradisi lisan (verbalistic approach), melainkan lebih dari itu bahwa dakwah adalah totalitas kehidupan kita. Apalagi dengan perkembangan sekarang ini, seruan verbal untuk berpegang kepada nilai-nilai agama dan memperkokoh kurang trend, karena hampir “tidak bermakna”. Salah satu caranya adalah bagaimana kita menata system kehidupan masyarakat dengan memperkokoh pilar hukum, pendidikan, ekonomi, budaya dan lain-lain yang menjadikan masyarakat langsung sebagai motor penggeraknya.

Menyadari betapa urgen dan signifikannya peran dakwah dalam kemampuannya untuk menata sebuah masyarakat ideal, maka dipandang perlu untuk aktivitas dakwah dijadikan sebagai gerakan yang terorganisir yang dikelola secara professional.

Salah satu penyebab efektivitas dakwah tidak tercapai secara maksimal adalah karena gerakan dakwah yang parsial yang berjalan sendiri-sendiri, maka sangat perlu untuk mengkonsulidasikan kembali simpul-simpul dakwah dalam sebuah jaringan dakwah yang didalamnya terbangun komunikasi solid dalam satu common plat form. Ini dalam rangka membuat pola yang tersistem dalam sebuah gerakan, tetapi tidak untuk menyeragamkan. Imam Ali pernah mengatakan bahwa kemaksiatan / kemungkaran yang terorganisir niscaya akan mengalahkan sebuah kebajikan tetapi ia tidak terorganisir.

Karena wilayah sebaran daerah begitu luas dan persoalan ummat yang kompleks serta mustahil hal ini dapat ditangani oleh satu atau dua pergerakan dakwah saja, oleh sebab itu barangkali dipandang perlu untuk menggagas untuk dibuatnya satu pusat studi dan informasi dakwah, yang didalamnya mengakses informasi apa saja yang berkaitan dengan dakwah Islamiyah dan sekaligus sebagai forum konsultasi, pertemuan, komunikasi dan sebagainya. Lembaga ini adalah lembaga terbuka lintas organisasi, lintas wilayah dan golongan.

Akhirnya, menurut kami dakwah bukan hanya ikhtiar ruhaniah, tetapi juga merupakan terapi bagi segala persoalan kemanusiaan yang merupakan tanggung jawab kemanusiaan setiap manusia. Oleh karenanya tanggung jawab ini tidak seharusnya berjalan secara apa adanya mengalir alamiah. Terlebih penting lagi adalah bahwa dakwah harus terpola dan tersistem agar hakekat dan tujuan dakwah menjadi tercapai. Membenahi sekaligus mengkonsiladasikan simpul-simpul dakwah dalam satu jaringan adalah sebuah kemestian dalam upayanya untuk meminimalisir kelemahan-kelemahan dari gerakan-gerakan dakwah saat ini yang telah dilakukan yang muaranya adalah terciptanya masyarakat civilize. Bukankah itu yang menjadi cita-cita kita semuanya ummat manusia ? dan semoga apa yang menjadi pengharapan kita bersama tidak hanya sekedar pengharapan, dan hanya kepada Allah SWT tempat kita bergantung.


Selengkapnya...

DESAIN PTK

A. Judul " Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Cerita Pada Materi Pertidaksamaan Kuadrat Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD di Kelas X-5 di SMA Borneo Bengkayang "

B. Latar Belakang Masalah

Pendidikan Matematika sebagai bagian integral dari sistem pendidikan Nasional diajarkan pada setiap jenjang pendidikan. Hal ini mengingat pentingnya peranan matematika baik aspek penalarannya maupun aspek penerapannya dalam rangka penguasaan ilmu dan teknologi. Selain itu matematika juga merupakan pengetahuan dasar yang sangat dibutuhkan untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan lainnya. Oleh Karena itulah matematika telah diajarkan sebagai salah satu mata pelajaran mulai di jenjang pendidikan dasar.



Menurut Hudoyo (1988:6), “Bagi guru matematika, penguasaan materi saja belum cukup untuk dapat membawa siswa berpartisipasi secara intelektual dalam belajar. Guru matematika seyogyanya memahami teori belajar sehingga belajar matematika menjadi bermakna bagi siswa”. Demikian pula Yusmin (1996:5) mengatakan bahwa “Teori-teori belajar dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kesiapan siswa, memotivasi dan mengetahui struktur materi pelajaran yang sesuai dengan tahap perkembangan siswa”. Berdasarkan kedua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa agar dapat mengelola kegiatan belajar mengajar yang mengutamakan keaktifan siswa, guru harus mampu memahami dan menerapkan teori-teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli.

C. Perumusan Masalah

Masalah umum dalam penelitian ini adalah “ Bagaimanakah meningkatkan hasil belajar siswa dalam menyelesaikan soal cerita pada materi Pertidaksamaan Kuadrat melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement Divition) di SMA Borneo Bengkayang “

Adapun permasalahan umum diatas dibagi menjadi sub-sub masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah hasil belajar siswa dalam menyelesaikan soal cerita pada materi Pertidaksamaan Kuadrat sebelum pembelajaran model STAD

2. Bagaimanakah hasil belajar siswa dalam menyelesaikan soal cerita pada materi Pertidaksamaan Kuadrat sesudah pembelajaran model STAD

3. Apakah terdapat peningkatan hasil belajar siswa dalam menyelesaikan soal cerita pada materi pertidaksamaan kuadrat melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam menyelesaikan soal cerita pada materi Pertidaksamaan Kuadrat melalui pembelajaran model STAD

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Guru:

a. Penelitian ini bagi guru bermanfaat untuk menambah variasi metode dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas.

b. Meningkatka kinerja guru dalam memberikan pembelajaran matematika.

2. Bagi Siswa

a. Dengan adanya variasi pembelajaran tersebut siswa dapat meningkatkan hasil belajar.

b. Menambah pengetahuan dan pengalaman baru dalam kegiatan proses belajar mengajar.

c. Memberi motivasi siswa dalam mempelajari matamatika khususnya materi pertidaksamaan kuadrat.

F. Landasan Teori

1. Hakekat Belajar Matematika

Menurut Hudojo (1989:28) belajar adalah suatu proses untuk mendapatkan pengalaman sehingga mampu mengubah tingkah laku itu menjadi relatif tetap, tidak akan berubah lagi dengan modifikasi yang sama. Sedangkan menurut Sudjana (1989:28) belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Jadi belajar matematika adalah suatu proses atau aktifitas yang mendasar yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang dalam mempelajari pengetahuan tentang penalaran yang logic yang berhubungan dengan bilangan.

2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Pada Materi Pertidaksamaan kuadrat.

Pembelajaran koopertif tipe STAD merupakan proses pembelajaran dimana siswa bekerja atau belajar dalam suasana kerjasama dalam kelompok keco (4-5 siswa) untuk menguasai atau menyelesaikan materi yang diberikan guru (Slavin dalam Mardiah, 2003: 10).

Menurut Kauchak dan Eggen (dalam Azizah,1998: 17) pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan peran aktif siswa untuk bekerja secara kolaboratif dalam mencapai tujuan. Lebih lanjut Arend mengemukakan karakteristik pembelajaran kooperatif yaitu:

a. Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademik

b. Anggota dua kelompok terdiri dari siswa dengan kemempuan tinggi sedang, dan rendah.

c. Jika memungkinkan masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya dan jenis kelamin.

d. Sistem penghargaan lebih berorientasi pada kelompok dari pada individu.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, pembelajaran kooperatif STAD merupakan model pembelajaran tempat siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4- 5 siswa dengan tingkat kemampuan yang berbeda, untuk menguasai atau menyelesaikan materi yang dipelajari. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota saling bekerjasama secara kolaboratif dan membantu untuk memahami suatu bahan pembelajaran, memeriksa dan memperbaiki jawaban teman, serta kegiatan lainnya dengan tujuan mencapai hasil belajat yang tinggi.

Belajar belum selesai jika satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran. (Slavin:1997:28) mengemukakan dalam STAD terdapat 5 komponen utama kegiatan pembelajaran yaitu:

1. Penyajian kelas (Class Presentation).

2. Pembentukan kelompok (team)

3. Kuis (quizzes)

4. Pemberian skor perkembangan individu (individual improvement)

5. Penghargaan kelompok (team recognitation)

Berdasarkan komponen kegiatan pembelajaran kooperatif tipe STAD menurut Slavin diatas dan merujuk pada makalah Rianti,S (1999), maka secara garis besat tahapan-tahapan pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi pertidaksamaan kuadrat dibagi dalam 6 tahap yaitu:

1. Tahap persiapan:

a. Guru mempersiapkan materi yang dirancang sedemikian rupa untuk pembelajaran secara kelompok.

b. Guru membagi siswa kelompok. Pembentukan kelompok berdasarkan aturan dalam pembelajaran kooperatif, yakni tiap kelompok beranggotakan 4-5 siswa yang terdiri dari siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Selain itu dipertimbangkan heterogenitas lainnya, yakni jenis kelamin, asal sekolah dan suku..

c. Guru membuat lembar rangkuma kelompok (LRK) berisikan nama-nama siswa dalam setiap kelompok.

2. Tahap penyajian materi. Kegiatan penyajian materi dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD umumnya melalui pembelajaran langsung (direct instruction). Dalam tahap ini guru memulai pembelajaran dengan menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dan memotifasi rasa ingin tahu siswa tentang konsep yang akan dipelajari. Selanjutnya guru memberikan apersepsi dengan tujuan mengungatkan siswa akan materi prasyarat yang telah dipelajari agar siswa dapat menghubungkan ide-ide yang aka disajikan dengan informasi yang telah dimiliki.

3. Tahap Kegiatan Kelompok. Untuk kegiatan kelompok, guru membagikan LKS kepada masing-masing kelompok siswa sebagai bahan yang akan dipelajari siswa. Disamping untuk mempelajari konsep-konsep materi pelajaran, LKS juga digunakan untuk melatih keterampilan kooperatif siswa. Dalam kegiatan kelompok, tiap kelompok berbagi dalam mengerjakan tugas-tugas dan selanjutnya saling memberikan informasi hasil pekerjaannya. Jika ada seorang siswa belum memahami, maka teman sekelompoknya bertanggung jawab untuk menjelaskannya. Sedangkan guru bertindak sebagai fasilitator yang memonitoring kegiatan masing-masing kelompok. Guru harus menekankan bahwa LKS untuk dipelajari, bukan hanya untuk diisi dan dikumpulkan. Untuk tahapan penyajian materi dan kegiatan kelompok pelaksanaannya bersamaan yaitu dengan mempelajari isi materi yang terdapat dalam LKS dan menyelesaikan latihan soal yang ada dalam LKS.

4. Tahap Tes Hasil Belajar. Setelah1 atau 2 periode penyajian pelajaran dan 1 atau 2 periode kegiatan kelompok, guru memberikan tes kepada siswa. Tes ini dikerjakan secara mandiri, agar siswa dapat menunjukan apa yang telah dipelajarinya secara individual selama bekerja dalam Kelompok.

5. Tahap Perhitungan Skor Perkembangan Siswa. Ide dalam tahap ini adalah memberi kesempatan setiap siswa untuk meraih prestasi maksimal, dan agar siswa dapat melakukan yang terbaik bagi dirinya berdasarkan prestasi sebelumnya (skor awal). Berdasarkan skorawal, setiap siswa memliki kesempatan yang sama untuk memberikab sumbangan skor maksimal bagi kelompoknya berdasarka skor tes yang diperoleh. Adapun langkah-langkah pemberian skor pengembangan siswa adalah sebagai berikut:

a. Menghitung skor perkembangan siswa

Guru menentukan skor dasar awal siswa. Skor dasar awal siswa adalah skor yang ditentukan oleh guru, dapat diperoleh dari hasil prestasi siswa/nilai siswa pada materi sebelumnya. Dalam penelitian ini skor dasar siswa diperoleh dari hasil pre test.

Untuk menghitung skor perkembangan siswa, guru berpatokan pada: lebih dari 10 poin dibawahskor dasar mendapat nilai perkembangan 5,10-1 poin dibawah skor dasar mendapat nilai perkembangan 10, skor dasar sampai 10 poin diatasnya mendapat nilai perkembangan 20,lebih dari 10 poin diatas skor dasar mendapat nilai perkembangan 30, paper yang baik (tidak berdasarkan skor dasar), mendapat nilai perkembangan 30 ( dalam Riyanti,S,2000:14).

Selanjutnya skor dasar, skor kuis dan skor perkembangan siswa ditulis pada lembar skor kuis.

b. Menghitung skor kelompok

Untuk menghitung skor kelompok, skor perkembangan setiap anggota kelompok dicatat pada LRK. Selanjutnya dihitung total skor perkembangan seluruh anggota kelompok sebagai nilai kelompok dan bagilah poin perkembangan total anggota kelompok dengan jumlah anggota kelompok yang ada. Jika hasilnya merupakan bilangan pecahan maka poin tersebut dibulatkan. Skor kelompok tergantung pada skor mentah dari kuis.

6. Tahap Penghargaan kelompok. Kelompok dapat diberi sertifikat atau bentuk

penghargaan lainnya jika memperoleh skor rata-rata melebihi kriteria tertentu. Dalam penghargaan terhadap prestasi kelompok terdapat 3 tingkat penghargaan sebagai berikut: kelompok dengan skor rata-rata 15 sebagai kelompok baik, kelompok dengan skor rata-rata 20 sebagai kelompok hebat, kelompok dengan skor rata-rata 25 sebagai kelompok super. (Muslimin Ibrahim, dkk, 2000: 62). Untuk menjadi kelompok super setiap anggota kelompok harus mempunyai skor paling sedikit 10 poin diatas skor dasar.

G. Kerangka Berfikir

Agar tidak terjadi salah penafsiran, maka perlu dijelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD.

Secara umum model dapat diartikan sebagai acuan (Poerwadariminta, 1997). Sedangkan pengajaran mempunyai hubungan yang sangat penting antara guru dengan siswa sebagai pusat pembelajaran (Munaldus,1999: 3). Jadi model pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu acuan yang digunakan oleh guru dalam mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran. Menurut Slavin (dalam Mardiah, 2003: 10) pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan proses pembelajaran dimana siswa bekerja atau belajar dalam suasana kerjasama dalam kelompok kecil (4-5 siswa), untuk menguasai atau menyelesaikan materi yang diberikan guru.

Dengan demikian yang dimaksud dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam penelitian ini adalah proses pembelajaran dimana siswa bekerja atau belajar dalam suasana kerjasama dalam kelompok kecil (4-5 siswa) dengan tingkat kemampuan yang berbeda untuk menyelesaikan soal-soal yang diberikan guru dan saling membantu teman sekelompok dalam memahami bahan pembelajaran dalam rangka mencapai ketuntasan materi dan hasil belajar yang tinggi.

2. Hasil Belajar Siswa

Menurut Hadari Nawawi (2001 :24) “hasil belajar siswa merupakan tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai materi pelajaran di sekolah dalam bentuk skor yan diperoleh dari tes mengenai sejumlah materi pelajaran tersebut “. Jadi yang dimaksud dengan hasil belajar siswa pada penelitian ini adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pertidaksamaan kuadrat dala bentuk skor.

3. Teori Belajar Yang Melandasi Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang menganut teori belajar konstruktivisme. Teori ini berkembang dari kerja Piaget Vygotsky dan teori psikologi kognitif yang lain. Penganut konstruktivisme berpendapat bahwa guru tidak dapat begitu saja memberikan pengetahuan jadi kepada siswanya. Agar pengetahuan yang diberikan bermakna, siswa sendirilah yang harus memproses informasi yang diterima, mengkonstruksikannya kembali dan mengintegrasikannya dengan pengetahuan yang dimilikinya. Dalam proses ini guru berperan memberikan dukungan dan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan ide mereka sendiri dan strategi belajar mengajar. Ide pokok dari teori ini adalah siswa secara aktif membangun pemgetahuan sendiri. Otak siswa dianggap sebagai mediator, yakni memproses masukan dari dunia luar dan menentukan apa yang mereka pelajari. Jadi pembelajara merupakan kerja mental yamg aktif dan bukan menerima secara pasif pembelajaran dari guru. Suparno (dalam Azizah, 1998 :25) menyatakan prinsip-prinsip konstrutif sebagai berikut:

a. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri bukan secara personal maupun sosial.

b. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kepada siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar.

c. Siswa aktif mengkonstruksi terus menerus sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap serta sesuai dengan konsep ilmiah..

d. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruktif siswa berjalan mulus.

Berdasarkan pendapat diatas, belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman bukan alami maupun manusiawi, yang dilakukan baik secara pribadi maupun sosial. Sedangkan mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan guru kepada siswanya, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuan membuat makna, mencari kejelasan dan bersikap kritis. Oleh sebab itu, tugas guru berdasarkan teori belajar konstruktif adalah merangsang pemikiran siswa membiarkan siswa mengungkapkan gagasan dan konsepnya. Sejalan dengan pendapat diatas, Piaget berpandangan bahwa pengetahuan datang dari tindakan. Perkembangan kognitif sebagian besar tergantung pada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya.

Selain itu sumbangan penting dari teori kognitif Vygotsky dalam konstruktif adalah penekanan pada hakekat sosiokultur dalam pembelajaran. Inti dari teori Vygotsky adalah interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut Vygotsky fungsi kognitif siswa berasal dari interaksi sosial masing-masing individu. Implikasi utama teori Vygotsky dalam pembelajaran (Slavin dalam Azizah, 1998: 31) adalah:

a. Menghendaki setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing-masing daerah perkembangan proksimal mereka.

b. Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding.

H. Hipotesis Tindakan

Hipotesis penelitian ini adalah terdapat peningkatan hasil belajar siswa setelah diberikan model pembelajaran kooperatif tipe STAD .

I. Setting penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di kelas X-5 SMA Borneo Bengkayang semester 1 tahun Pelajaran 2007/2008 pada bulan Oktober sampai dengan Nopember tahun 2007 karena materi pertidaksamaan kuadrat akan disampaikan pada bulan-bulan tersebut.

J. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X-5 SMA Borneo Bengkayang tahun pelajaran 2007/2008

K. Sumber Data

Sumber data pada penelitian ini diperoleh dari seluruh siswa kelas X-5 SMA Borneo Bengkayang tahun pelajaran 2007/2008 yang dianggap sebagai sample penelitian.

L. Teknik dan Alat Pengumpul Data

1. Teknik Pengumpulan Data

a. Pre test

b. Post test

2. Alat pengumpulan Data

a. Lembar soal pre test

b. Lembar soal post test

M. Validasi Data

Dalam penelitian ini akan dilakukan validasi data dengan triaggulasi.

N. Analisis Data

Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis data secara kuantitatif berdasarkan hasil pre test dan post test.

O. Indikator Kinerja

Melalui pembelajaran model STAD diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas X-5 SMA Borneo Bengkayang tahun pelajaran 2007/2008 dalam menyelesaikan soal cerita pada materi Pertidaksamaan Kuadrat. Hal ini ditandai dengan meningkatnya hasil belajar siswa jika dibandingkan sebelum diberikan model pembelajaran STAD.

P. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan bersama-sama atau berkolaborasi dengan guru kelas X SMA Borneo Bengkayang dan menggunakan metode PTK yang terdiri dari tiga siklus yaitu:

1. Siklus 1:

Akan dilakukan tindakan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu pembelajaran dengan membentuk kelompok yang anggotanya terdiri dari 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku dan lain-lain (Slavin;1995) dalam menyelesaikan soal cerita dengan bantuan LKS. Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu

  1. Guru membentuk kelompok heterogen
  2. Guru menyajikan pelajaran
  3. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota kelompok. Anggota yang bisa menjelaskan kepada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
  4. Guru memberi kuis atau pertanyaan kepada seluruh siswa.
  5. Guru memberikan evaluasi
  6. Guru memberikan penghargaan kelompok.
  7. Guru mentimpulkan materi yang telah dipelajari.

Diakhir pembelajaran kooperatif tipe STAD akan diberikan post test. Hasil dari post test ini dijadikan refleksi.

2. Siklus 2:

Jika hasil belajar siswa pada siklus pertama belum menunjukkan peningkatan hasil belajar siswa maka akan diberikan siklus kedua dengan perlakuan yang sama.

3. Siklus 3 :

Jika hasil belajar siswa pada siklus kedua belum menunjukkan peningkatan hasil belajar siswa maka akan diberikan siklus ketiga dengan perlakuan yang sama.



Selengkapnya...

Buku Tamu


ShoutMix chat widget